Laut China Selatan Membara: Perdagangan Global di Ambang Bahaya
Konflik global yang sedang berlangsung, termasuk perang di Ukraina dan ketegangan di Timur Tengah, menimbulkan kekhawatiran akan penutupan jalur laut penting, seperti Selat Hormuz dan Laut Cina Selatan (LCS).
LCS, yang menghubungkan Asia dengan Eropa, Timur Tengah, dan Afrika, merupakan jalur perdagangan utama, dengan nilai perdagangan tahunan mencapai USD7,4 triliun. Sekitar 40% perdagangan Cina, sepertiga perdagangan India, dan 20% perdagangan Jepang melewati LCS.
Ketegangan antara Cina dan negara-negara tetangganya, seperti Filipina dan Taiwan, mengancam keamanan LCS. Beijing mengklaim hampir seluruh LCS sebagai miliknya, memicu perselisihan dengan negara-negara lain yang memiliki zona ekonomi eksklusif di wilayah tersebut.
Selain itu, LCS diperkirakan kaya akan sumber daya alam, termasuk gas alam dan minyak. Militer Cina telah meningkatkan aktivitasnya di LCS, memicu kekhawatiran akan konflik berskala penuh.
Penutupan LCS dapat berdampak signifikan pada ekonomi global, menyebabkan kekurangan barang, kenaikan harga, dan kerugian pendapatan bagi pelabuhan-pelabuhan utama di Asia.
Selat Malaka, yang terletak di antara Malaysia, Indonesia, dan Singapura, juga merupakan jalur laut penting yang dilalui sekitar sepertiga perdagangan maritim global. Jika ketegangan antara Cina dan negara-negara tetangganya meningkat, Selat Malaka dapat menjadi titik konflik yang mengancam keamanan ekonomi Cina, India, dan Jepang.
Amerika Serikat telah memperingatkan bahwa mereka akan membela Filipina jika diserang di LCS. Beberapa ahli memperkirakan bahwa jika Cina menyerang Taiwan, AS dan sekutunya akan memblokade Selat Malaka, membatasi akses Cina terhadap minyak dan ekspor.